Selasa, 28 Agustus 2018

Resensi Novel Orang Orang Proyek Karya Ahmad Tohari



Judul                     : Orang Orang Proyek
Penulis                 : Ahmad Tohari
Penerbit              : Jendela
Tahun Terbit      : Cetakan Pertama, Juli 2002
 ‘’ORANG ORANG PROYEK’’ menceritakan kisah Kabul, seorang insinyur teknik yang menangani sebuah proyek pembangunan jembatan di Desa Cibawor.  Kabul yang dulunya seorang aktivis kampus, hati nuraninya terusik melihat bagaimana permainan politik yang terjadi untuk membangun sebuah jembatan untuk rakyat. Proyek yang didanai dari utang luar negeri yang pasti rakyat yang menanggung beban biaya nantinya dijadikan bancaan oleh sebuah partai politik tersebut GLM (Golongan Lestari Menang).  Partai politik ini adalah partai politik paling berpengaruh di masa Orde Baru. Korupsi merajalela tanpa memperdulikan rakyat lagi. Diperparah rakyat yang tak mengerti hak-hak politik mereka serasa dibuai dengan kebahagiaan semu belaka. Indonesia yang katanya negara merdeka yang telah republik kenyataanya masih menanmkan sikap feodalisme di sistem pemerintahannya.
Anggaran jembatan yang sudah dikuras lebih dari tigapuluh persen, masih saja diotak-atik lagi dananya untuk keperluan lain-lain. Misalnya, kader partai GLM yang meminta Kabul menyumbangkan bahan-bahan pembuat jembatan guna membangun sebuah masjid sebelum diadakannya kampanye oleh partai GLM di Desa Cibawor. Belum lagi, partai GLM mendesak agar jembatan jadi sebelum kampanye partai tersebut diadakan di Desa Cibawor. Hal ini disebabkan ”dari atas” yang menandatangani surat peminjaman dana luar negeri  untuk pembangunan jembatan tersebut merupakan kader partai GLM.  Beban psikologis yang ditanggung Kabul tak dapat lagi terbendung dan akhirnya iapun memutuskan keluar dari proyek tersebut.
Meskipun ia tak yakin apa yang akan dikerjakan olehnya setelah keluar dari proyek tersebut. Disisi lain, dalam novel diceritakan kisah cinta menarik antara Wati dan Kabul. Kabul yang sebelumnya biasa saja terhadap Wati mendadak merasakan sesuatu setelah Wati menyiapkan perlengkapan sholat jumat untuk Kabul. Ditambah lagi usaha Mak Sumeh, seorang pemilik warung tegal di proyeknya untuk mendekatkan Kabul dengan Wati. Wati yang sebenarnya sudah mempunyai pacar, akhirnya putus dengan pacarnya yang seorang mahasiswa semester 5 dikampusnya. Kabul dan Wati resmi berpacaran dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Diakhir cerita, Kabul melewati desa Cibawor bersama istrinya, Wati. Ia melihat plang bahwa jembatan sedang rusak. Ia menghentikan mobil dan melihat apa yang terjadi pada jembatan tersebut.
Tentu saja jembatan bancaan itu cepat rusak bahkan hanya setelah setahun setelah pembangunan karena pembuatannya yang asal-asalan. Dia menceritakan sebuah kisah kepada Wati, suatu saat di surga dan neraka ada sebuah pembatas dan Tuhan meminta penghuni surga dan neraka membangun jembatan pembatas. Dan penghuni neraka berhasil menyelesaikan jembatan tersebut lebih dulu. Usut diusut ternyata penghuni neraka banyak yang dari orang-orang proyek. Disusul suara tawa dari Kabul dan Wati. Jadi pada intinya ‘’Orang Orang Proyek’’ tersebut sudah paham apa yang dilakukan mereka adalah perbuatan dosa, tetapi mereka tidak peduli lagi. Sekarang Kabul mendapatkan proyek dari sebuah perusahaan swasta untuk membangun hotel.
Melalui Novel ini, Ahmad Tohari mencoba untuk berbagi keresahan hatinya melihat tingkah laku pemerintahan Orde Baru. Jalannya pemerintah Orde Baru yang korup dan rakus membuat rakyat tidak kunjung lepas dari penderitaan dan kemiskinan. Bentuk-bentuk ketimpangan yang terjadi dimasa Orde Baru sungguh memprihatinkan. Terutama bagaimana ketimpangan itu muncul dan tumbuh di pedesaan.
“Orang-Orang Proyek” merupakan secuil kisah bagaimana pembangunan infrastruktur terutama jembatan, telah menjadi ajang bancakan para manusia-manusia rakus yang hanya mementingkan perutnya saja. Kabul merasakan sendiri bagaima praktek penyelewengan itu terjadi pada proyek pembangunan jembatan. Sebagai mantan aktifis mahasiswa yang kritis melihat penyimpangan pemerintah Orba, jiwanya selalu memberontak. Ia menyadari bahwa apa yang dulu diperjuangkan sebagai seorang aktifis yaitu keadilan dan melawan korupsi, kini ia harus menghadapi realitas nyata didepannya. Proyek jembatan itu menjadi pertempuran antara idealismenya dan realitas yang ia hadapi.
Dalam kesehariannya ia selalu dihadapkan pada pemerasan-pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah terhadap proyek yang sedang dilakukannya. Anggaran proyek bocor lantaran pimpinan proyek mengeruk keuntungan dari pekerjaannya. Padahal pimpinan proyek jembatan itu adalah senior dikampusnya. Material jembatan yang semestinya dibeli dari produk yang berkualitas, oleh pimpinan proyek dibelikan material bekas, hasil dari sisa-sisa jembatan yang rusak. Pantas saja, jembatan-jembatan yang baru dibangun, umurnya tidak lebih dari lima tahun. Ya seperti itu penyebabnya. Benar-benar kebablasan. Tidak hanya sampai disitu saja. Pejabat kecamatan, kebupaten, sampai DPRD ikut-ikutan memeras proyek jembatan itu, padahal jelas-jelas proyek itu untuk kepentingan rakyat.
Sebetulnya cerita dalam novel ini sederhana, namun Ahmad Tohari menghadirkan konflik-konflik yang beraneka ragam di seputar pembangunan jembatan. Konflik tersebut melibatkan rakyat kecil. Terutama bagaimana penduduk desa ikut-ikutan mengambil material berupa semen secara ilegal. Padahal jelas-jelas perbuatan tersebut membuat anggaran pembangunan jembatan semakin bocor. Kalau rakyat kecil saja sudah berbuat seperti itu bagaimana dengan penguasanya.
Sedari awal Kabul menyadari, bahwa pembangunan jembatan ini hanya pamer kesombongan dari partai penguasa. Jembatan itu dibangun untuk menyambut momentum hari ulang tahun partai yang berkuasa. Makannya proyek pembangunan  jembatan itu memang tidak beres dari awal. Oleh para ahli bangunan menyarankan, bahwa proyek pembangunan jembatan sebaiknya dimulai setelah musim hujan, hal tersebut dimaksudkan agar pembangunan jembatan tidak terganggu ketika turun hujan, namun karena alasan menyambut HUT Partai, hal itu sama sekali tidak dipedulikan. Yang jadi pikiran mereka adalah jembatan harus jadi, sebelum perayaan ulang tahun berlangsung, karena jembatan itu akan diresmikan langsung oleh ketua partai. Mereka juga tidak peduli kualitas bangunan bermutu apa tidak. Malahan pimpinan proyek yang sekaligus menjabat sebagai bendahara partai, dengan sombongnya mengatakan, kalau jembatan rusak bisa dibangun lagi, justru dengan banyaknya jembatan rusak malah semakin menguntungkan. Kabul merasa bahwa kelakuan para penguasa Orde Baru telah mengebiri prinsip keilmuan yang sejatinya dijunjung tinggi. Di negri ini, keilmuan masih menjadi anak tiri yang terabaikan keberadaanya.
Novel ini tidak melulu bercerita tentang kebobrokan Orde Baru, Ahmad Tohari juga menyuguhkan kisah cinta antara Kabul dengan Wati. Wati adalah seorang gadis desa yang bekerja bersama Kabul di proyek pembuatan jembatan tersebut. Kabul yang sok jaim dengan wati, membuat Mak Sumeh, seorang penjual warteg di dekat proyek itu menjadi gemas dengan kelakuan dua jomlo itu. Orang tua itu diam-diam jadi mak comblang antara Wati dan Kabul. Apalagi Wati sudah punya pacar. Ia dihadapkan pada pilihan yang serba sulit. Memilih Kabul ataukah bertahan pada pacarnya yang tidak mau diajaknya menikah. Selain kisah cinta mereka, hadir pula kisah-kisah lucu di sekitar proyek jembatan tersebut.
Karena berangkat dari ruang kehidupan rakyat pinggiran, Ahmad Tohari banyak menyajikan kisah-kisah penduduk desa sekita proyek. Kisah pemuda proyek yang jatuh cinta pada pelayan warung makan tegal. Kegelisahan hati Kang Martasatang yang mengetahui anaknya selama tujuh hari tidak pulang rumah, padahal anaknya selama ini bekerja di proyek tersebut. Desas-desus yang dihembuskan, bahwa anaknya menjadi tumbal dari pengerjaan proyek jembatan. Tahayul-tahayul yang masih menjadi diyakini oleh penduduk desa, sempat membuat Kabul berada dalam bahaya. Hadir juga kisah seorang pensiunan pegawai pemerintah yang hobinya memancing. Bapak tua itu keseharian tidak peduli siang atau malam kerjanya memancing di sungai dekat desanya.
Kabul yang menjadi tokoh utama dihadapkan juga pada sikap temannya yang dulu aktivis kampus, dan kini menjadi kepala desa di daerah proyek jembatan itu. Basar, temannya Kabul yang dulu kritsis menentang pemerintahan Orde Baru, tampak tak berdaya ketika berada di lingkungan pemerintah. Hatinya selalu bimbang ketika mengambil keputusan. Dia selalu dihadapkan pada keinginan partai pendukung pemerintah atau sikap Kabul temanya yang masih kokoh dengan pendiriannya. Menjadi mantan aktivis dan menjadi kepala desa merupakan pernik-pernik kehidupan yang menggelisahkan. Kisah Basar sebagai mantan aktivis yang terjebak dalam kubangan kekuasaan Orde Baru, membuat kisah dalam novel ini menjadi lebih berwarna .
Memang mengasyikkan membaca novel Ahmad Tohari. Ia menyuguhkan cerita yang sederhana, cerita yang memang lahir dari kondisi rakyat pinggiran, namun makna yang terkandung didalamnya sangat dalam. Kalau ingin melihat potret kehidupan rakyat Indonesia yang sesungguhnya, disarankan membaca tuntas novel ini, juga karya-karya lainnya. Melalui karya-karya yang telah ia hasilkan, Ahmad Tohari telah menyumbangkan andil besar dalam memajukan kesusastraan Indonesia.
Penokohan :
Pertama, Kabul. Ir. Kabul merupakan tokoh utama yang juga merupakan mantan aktivis kampus yang sangat idealis menentang kecurangan pemerintah. Ahmad Tohari menempatkan Kabul sebagai cerminan kaum intelektual saat Orde Baru berkuasa. Kabul bersifat idealis, berpikiran lurus namun tetap rendah hati terhadap semua orang. Tatkala atasannya maupun pejabat sekitar Sungai Cibawor merecoki proyek yang diemban Kabul, ia tetap bersikukuh dengan prinsip yang ia pegang kuat sejak masih menjadi mahasiswa. Namun, lama-kelamaan Kabul tak kuasa menahan gejolak idealismenya yang seakan ditelanjangi para penguasa Orde Baru. Pada akhirnya, Ir. Kabul mengundurkan diri sebagai pimpinan proyek pembangunan jembatan tersebut.

Kedua, Wati. Sekretaris proyek yang dipimpin oleh Kabul ini hadir memberi warna tersendiri. Sosok gadis desa yang cantik, anggun namun hatinya meleleh jika bertemu Kabul dapat digambarkan oleh Ahmad Tohari dengan unik. Kebiasaannya merengut jika dicuekin oleh Kabul membuat saya tersenyum. Bisa dibilang sosok Wati merupakan tokoh pencair suasana tatkala konflik-konflik menyerang Kabul. Yang saya cermati, Ahmad Tohari mampu mencipta tokoh wanita ini dengan apik dan tidak berlebihan.
Ketiga, Pak Tarya. Novel ini diawali dengan suasana Sungai Cibawor sehabis tiga hari yang lalu dilanda banjir besar. Dan di tepian Sungai itu terdapat Pak Tarya yang sedang memancing tanpa tujuan. Kehadiran tokoh Pak Tarya pada Orang-Orang
Proyek semacam malaikat bagi tokoh utama. Sosoknya yang sederhana, nyeleneh namun di sisi lain sangat cerdas dan peka terhadap situasi politik saat itu sangat unik. Kabul yang emosinya masih labil banyak mendapat wejangan-wejangan tersirat dari Pak Tarya. Tapi seringkali Pak Tarya muncul pada waktu yang terlambat, sehingga membuat pembaca geregetan menyaksikan konflik batin yang kerap kali terjadi pada Kabul.

Keempat, Basar. Sahabat Kabul sesama aktivis kala masih menjadi mahasiswa ini muncul sebagai Kepala Desa sekitar Sungai Cibawor. Dorongan orangtua yang berhasrat menyalonkan dirinya menjadi Kades ia terima dengan penuh keterpaksaan. Jiwa mantan aktivis yang sepaham dengan Kabul ironis dengan kedudukan dirinya sebagai kaki tangan pemerintah Orde Baru. Proyek pembangunan jembatan banyak direcoki pemerintah. Tentu saja Basar yang merupakan pejabat pemerintah paling rendah sangat kelimpungan. Ia hanya dapat berdiskusi dengan Kabul yang sama-sama bimbang menghadapi kenyataan yang tak sesuai impian yang mereka cita-citakan pada saat menjadi aktivis dulu. Namun, akhirnya kebimbangan kedua sahabat itu mampu dicairkan oleh tokoh Pak Tarya.

Kelima, Dalkijo. Picik! Inilah kata yang pantas saya sematkan kepada tokoh ini. Dalkijo mewakili sosok insinyur pragmatis yang sudah terdoktrin oleh gelimang kemewahan ala birokrat. Ciri khasnya memakai kaca mata hitam branded, jaket kulit dan motor Harley Davidson memperkuat karakter piciknya. Beberapa kali ia berseteru tentang betapa pentingnya pemenuhan kualitas material jembatan dengan Kabul. Namun pada akhirnya Kabul yang mengalah. Di akhir cerita Dalkijo memaksakan kehendaknya memakai material-material bekas demi mengejar jadwal peringatan acara HUT GLM yang semakin mepet. Tentu saja Kabul sangat mengecam keputusan Dalkijo tersebut, dan ia mengundurkan diri sebagai penanggung jawab proyek jembatan Cibawor.

Keenam, Mak Sumeh. Tokoh Mak Sumeh hadir sebagai tokoh yang nyinyir (kalau istilah masa kini: kepo) dan membuat pembaca geregetan. Pemilik warung di sekitar lokasi proyek ini begitu dominan melengkapi seluruh rangkaian isi novel. Kekaguman Wati kepada Kabul berulangkali dituturkan Mak Sumeh dengan polos dan blak-blakan. Namun Kabul tak menggubrisnya walaupun ia sempat juga kesal akan kenyinyiran Mak Sumeh. Di sisi lain Mak Sumeh mewakili wong cilik yang jeli memanfaatkan peluang usaha di sebuah tempat yang ramai, dalam hal ini lokasi proyek jembatan Cibawor.

Ketujuh, Tante Ana. Sekali lagi Ahmad Tohari begitu cerdas mencipta tokoh yang berkarakter kuat dan khas. Tokoh Tante Ana maupun Mak Sumeh hadir membawa corak yang membuat konflik-konflik pada Orang-Orang Proyek mencair. Alunan kecrek dan suaranya yang berat kelaki-lakian begitu menghibur para pekerja proyek. Tante Ana mampu hadir sebagai penghibur kaum jelata yang haus akan hiburan. Terkadang ia rela mengamen tanpa dibayar recehan sekalipun oleh orang-orang proyek. Tante Ana merupakan anomali dari wong cilik yang begitu sukarela berbagi kebahagiaan dengan sesama. Tentu saja hal ini bertolak belakang dengan Dalkijo yang hidup mapan dan bergelimang kemewahan itu.
Buku karya Ahmad Tohari ini layak dibaca karena ia secara detail dan gamblang menceritakan realita sosial yang terjadi pada masa itu dan juga penggambaran tokoh Ir. Kabul yang seolah pembaca bisa merasakan konflik yang terjadi dalam dirinya. Karya yang satu ini merupakan karya yang cukup relevan diangkat. Baik dijadikan bahan rujukan bacaan sebagai karya yang dapat merefleksikan kehidupan masa lampau dan saat ini masih belum terlepas dari masalah penyelewengan alokasi dana yakni korupsi hingga kolusi dan tak ketinggalan prinsip yang idiologis. Mampu menjadi karya yang patut guna dijadikan bahan kajian pada mata pelajaran bahasa dan sastra di sekolah menengah.

Backlink / URL Link :
http://uny.ac.id
http://library.uny.ac.id
https://journal.uny.ac.id 

Sumber Buku : UPT Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber lainnya :

www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar