Selasa, 28 Agustus 2018

Resensi Novel Kubah Karya Ahmad Tohari


Judul  buku     : Kubah
Pengarang      : Ahmad Tohari
Tebal           : 211 halaman
Tahunterbit     : 2012
Cetakan       : Cetakan keempat (edisi baru)
Penerbit:      : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

     Novel karya Ahmad Tohari yang berjudul Kubah ini terdiri dari sebelas bagian. Novel ini menceritakankehidupan tokoh utama yaitu Karman secara flashback atau kilas balik. 
     Karman adalah seorang pemuda cerdas dari desa Pegaten yang menjadi anggota partai komunis.Bergabungnya Karman dalam partai komunis ini menjadikan Karman tawanan politik yang diasingkan di Pulau Buru. Setelah keluar dari penjara di Pulau Buru akhirnya Karman menyadari kekeliruannya selama ini. 
Babak satu novel ini menceritakan pembebasan Karman setelah ditahan sebagai tahanan politik di Pulau Buru selama 12 tahun. Ia kebingungan, karena setelah lama menjalani masa tahanan di penjara Pulau Buru, dan berbagai persoalan menimpanya selama masa pengasingan membuat banyak kesedihan di hatinya. Mulai dari kesedihan karena ditinggal sang istri yang sudah lama dinikahi dan mereka memilikitiga anak hingga rasa ketidakpercayaan dirinya akan diterima kembali oleh masyarakat Pegaten karena iabekas tahanan politik yang pastinya akan mendapatkan pandangan negatif dari masyarakat. 
Di bagian kedua hingga beberapa bagian berikutnya, Ahmad Tohari memundurkan jalan cerita, diceritakannya bagaimana masa kecil Karman yang susah, hidup tanpa ayahnya danh arus banting tulangbekerja menjadi pembantu dan pengasuh anak Haji Bakir, tetangganya, orang terkaya dan terpandang di desa Pegaten. Karman kecil menamatkan sekolah hingga tingkat SMP atas bantuan pamannya, Hasyim.Karena tak memiliki biaya yang cukup untuk melanjutkan sekolah, Karman berhenti dan atas kebaikan Haji Bakir, ia diterima bekerja di sana sekaligus untuk menjadi teman bermain Rifah, putrinya.
Selanjutnya, Karman mulai berkenalan dengan Kawan Margo yang merupakan anggota Partai Komunis. Setelah berkenalan cukup lama, Karman pun akhirnya terbujuk oleh Kawan Margo untuk bergabung dengan partai komunis, Margo melihat bahwa Karman adalah pribadi yang cerdas dan dapat dipengaruhi untuk menjadi bagian dari partai. Karman gelap mata dan mulai terpengaruh ideologi Margo, ia mulai meninggalkan kebiasaan sholatnya, ajaran-ajaran partai melekat diotaknya, perbedaan antara kaya dan miskin merupakan suatu hal yang menjadi sorotan tajam bagi Karman. Kenapa ia tidak bisa menikah dengan Rifah anak Haji Bakir, apakah karena ia miskin maka tidak dapat bersanding dengan Rifah? Hal itu memenuhi benak Karman, nyatanya Haji Bakir menolak Karman karena ia telat meminang Rifah, karena ada pemuda yang lebih dulu menyatakan lamarannya. Kenyataan ini semakin membuatnya membenci keluarga Haji Bakir beserta orang kaya lainnya.
Situasi ini dimanfaatkan Kawan Margo dan bosnya, Si Gigi Besidan Truman. Karman diberi pekerjaan sebagai sekretaris partai, dan ajaran partai meresap kuat diotaknya. Ia menyerukan pertentangan terhadap perbedaan kelas yang terjadi di tahun-tahun itu. Ia menjadi kalap, gelisah dan kafir. Sosok Karman yang cerdas dan taat dahulu menguap entah kemana. Karman berubah menjadi seorang atheisme. 
Seperti gambaran sejarah, 1965 merupakan akhir dari komunis di Indonesia, partai Karman dibabat habis, Margo, Si Gigi Besidan Truman dihukum mati. Karman ketakutan dan kabur mencari perlindungan, ia lari dan bersembunyi di hutan, bersembunyi di kuburan hingga akhirnya tertangkap setelah menderita sakit karena gizi buruk. Ia tak memiliki kekuatan untuk melanjutkan pelariannya.
Di bagian akhir diceritakan bahwa Karman kembali ke desa Pegaten dan diterima dengan baik oleh masyarakat. Ia lalu mengabdikan dirinya dengan cara merenovasi masjid milik Haji Bakir, Karman mendesain kubah masjid tersebut.
Buku ini sangat menarik untuk dibaca, seperti karya Ahmad Tohari sebelum-sebelumnya, yang mengangkat realita kehidupan ke dalam sebuah tulisan, novel ini pun demikian. Cerita tentang kehidupan masyarakat Pegaten yang miskin namun masih tetap menjalankan tuntunan agama memberikan pelajaran berharga tersendiri bagi pembaca. Gejolak politik masa PKI turut diangkat dalam novel ini sehingga dapat mengingatkan kembali pembaca akan sejarah yang ada dalam perjalanan bangsa Indonesia. Selain itu melalui tokoh Karman pembaca dapat mengambil hikmah tersendiri, yaitu agar memiliki prinsip dalam hidup agar tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang merugikan. Melalui novel ini bisa jadi pengarang mengingatkan pembaca agar selalu berpegang teguh pada nilai-nilai agama.
Bahasa yang digunakan dalam novel ini begitu mengalir sehingga jalan ceritanya mudah dipahami oleh pembaca. Sedangkan alur yang digunakan adalah alur campuran, menceritakan kehidupan tokoh utama dari semasa kecil hingga dewasa. Pengarang menggunakan sudut pandang diaan maha tahu, dimana pengarang berada di luar cerita dan hanya sebagai pengamat.
Akan tetapi dibalik kelebihan-kelebihannya novel ini juga memiliki kelemahan. Novel ini tampak terlalu tergesa-gesa ditulis. Mengapa? Karena untuk materi cerita yang penuh dengan pergolakkan emosi dan krisis yang diramu oleh peristiwa sosial besar semacam G 30 S PKI, rasanya buku ini terlalu kecil takarannya, dapat dikatakan bahwa novel ini hanya menyentuh seujung kuku saja peristiwa G S 30 PKI sehingga kejadian-kejadian apa saja yang ada dalam peristiwa G 30 S PKI kurang diketahui oleh pembaca atau dengan kata lain dapat dikatakan buku ini kurang memberikan informasi yang mendalam mengenai peristiwatersebut.
Kesimpulannya: saya merekomenasikan buku ini untuk dibaca. Buku ini sangat cocok untuk memenuhi koleksi buku anda karena novel initer golong novel klasik yang syarat akan makna-makna kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar